BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Deskripsi
Teori
1.
Pembelajaran
Matematika
Pembelajaran dapat didefinisikan
sebagai suatu sistem atau proses membelajarkan subjek didik/pembelajar yang
direncanakan atau desain, dilaksanakan, dievaluasi secara sistematis agar
subjek didik/pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif
dan efisien. Pembelajaran
ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar
merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran merupakan proses
komunikasi dua arah.[1]
Pembelajaran
matematika merupakan suatu cara merencanakan, mengkonsep, dan mengaplikasikan
materi-materi matematika dalam kehidupan sehari-hari dengan menentukan objek
pembelajaran. Menurut Nikson , “ pembelajaran matematika adalah membantu
siswa/siswi untuk membangun kosep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan
kemampuan sendiri melalui proses internalisasi sehingga konsep/prinsip itu
terbangun kembali, transformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep/prinsip
baru”.[2]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah suatu proses yang
diselengarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa guna memperoleh ilmu
pengetahuan dan keterampilan matematika.
a.
Mengajar
Matematika
Mengajar
atau “teaching” adalah membantu
peserta didik memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir,
sarana untuk mengekspresikan dirinya dan cara-cara belajar bagaimana belajar.[3] Artinya
mengajar pada hakikatnya suatu proses, yaitu proses mengatur, mengorganisasi
lingkungan yang ada disekitar siswa sehingga menumbuhkan dan mendorong siswa
belajar.[4]
Atau dikatakan , mengajar sebagai upaya menciptakan kondisi yang kondusif untuk
berlangsungnya kegiatan belajar bagi para siswa. Mengajar adalah segala upaya
yang disengaja dalam rangka memberi kemungkinan bagi siswa untuk terjadinya
proses belajar sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan. Karenanya belajar
merupakan suatu proses yang kompleks. Tidak hanya sekedar menyampaikan
informasi dari guru kepada siswa. Banyak kegiatan maupun tindakan yang harus
dilakukan, terutama bila diinginkan hasil belajar lebih baik pada seluruh
peserta didiknya.
Matematika
berkenaan dengan gagasan yang berstruktur yang hubungan-hubungannya diatur
secara logis, dimana konsep-konsepnya abstrak dan penalarannya deduktif.[5]
Sedangkan menurut Hudoyo, “matematika adalah berkenaan dengan ide-ide,
struktur-struktur dan hubungan-hubungannya yang diatur menurut urutan yang
logis”.
Berdasarkan
definisi tentang mengajar dan matematika diatas dapat disimpulkan bahwa
mengajar matematika adalah suatu usaha yang dilakukan oleh guru untuk
membimbing siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan matematikanya yang
diatur secara terstruktur menurut urutan yang logis.
b.
Belajar Matematika
Secara etimologis belajar memiliki
arti “ berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu”. Disini, usaha untuk mencapai
kepandaian atau ilmu merupakan usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya
mendapatkan ilmu atau
kepandaian yang belum dipunyai sebelumnya. Sehingga dengan belajar itu manusia
menjadi tahu, memahami, mengerti, dapat melaksanakan dan memiliki tentang
sesuatu. Pengertian belajar sudah banyak dikemukakan oleh para ahli psikologi
termasuk ahli psikologi pendidikan. Menurut pengertian secara psikologis,
belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu
situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam
situasu itu.[6]
“Belajar merupakan suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang
yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan
latihan”.[7] Proses
Belajar mengajar dapat diartikan sebagai suatu rangkaian interaksi antara siswa
dan guru dalam rangka mencapai tujuannya.[8]
Matematika adalah ilmu
pengetahuan struktur dan hubungan-hubungannya, simbol-simbol diperlukan,
matematika berkenaan dengan ide-ide abstrak yang tersusun secara hirarkis dan
penalarannya deduktif. Matematika dapat dipandang sebagai suatu ide yang
dihasilkan oleh ahli-ahli matematika dan objek penalarannya dapat berupa
benda-benda atau makhluk, atau dapat dibayangkan dalam alam pikiran kita. Dalam
proses belajar mengajar matematika, seorang siswa tidak dapat mengetahui
jenjang yang lebih tinggi tanpa melalui dasar atau hal-hal yang merupakan
prasyarat dalam kelanjutan program pengajaran selanjutnya. Untuk mempelajari
matematika dituntut kesiapan siswa dalam menerima pelajaran, kesiapan yang
dimaksud adalah kematangan intelektual dan pengalaman belajar yang telah dimiliki
oleh anak, sehingga hasil belajar lebih bermakna bagi siswa.
Belajar matematika yang terputus-putus akan
mengganggu proses belajar. Yaitu belajar
matematika bagi seorang anak merupakan proses yang kontinu sehingga diperlukan
pengetahuan dan pengertian dasar matematika yang baik pada permukaan belajar
untuk belajar selanjutnya. Proses belajar matematika haruslah diawali dengan
mempelajari konsep-konsep yang lebih mendalam dengan menggunakan konsep-konsep
sebelumnya atau dengan kata lain bahwa proses belajar matematika adalah suatu
rangkaian kegiatan belajar mengajar dalam interaksi hubungan timbal balik antara
siswa dengan guru yang berlangsung dalam lingkungan yang ada disekitarnya untuk
mencapai tujuan tertentu.
Dengan
demikian, untuk dapat menguasai materi
pelajaran matematika pada tingkat kesukaran yang lebih tinggi diperlukan
penguasaan materi tertentu sebagai pengetahuan prasyarat. Penguasaan yang
tinggi akan dapat dimiliki siswa dalam mempelajari matematika bila guru tidak hanya menuntut
siswanya untuk menghafal rumus saja, tetapi lebih penting adalah memberikan
pemahaman yang penuh terhadap konsep-konsep yang disampaikan.
Dari uraian di atas tentang definisi belajar dan
matematika, maka dapat disimpulkan bahwa belajar matematika adalah proses
dalam diri siswa yang hasilnya berupa perubahan
pengetahuan, sikap, keterampilan dan untuk menerapkan konsep-konsep, struktur
dan pola dalam matematika sehingga menjadikan siswa berfikir logis, kreatif,
sistematis dalam kehidupan sehari-hari. Belajar
matematika akan lebih berhasil bila mengarah pada pengembangan berfikir,
pengembangan konsep atau ide-ide terdahulu yang dipersiapkan untuk mempelajari
dan menguasai konsep baru.
2.
Hasil
Belajar Matematika
Prestasi adalah hasil
dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual
maupun kelompok.[9]
“ Prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan,
yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja, baik secara
individual maupun kelompok dalam bidang kegiatan tertentu”. Sedangkan “Belajar
ialah suatu proses perubahan prilaku seseorang setelah mempelajari suatu objek
(pengetahuan, sikap, atau keterampilan)”.[10]
Setelah menelusuri uraian diatas,
maka dapat dipahami makna dari kata “ prestasi (Hasil Belajar)” dan “belajar”. Prestasi pada dasarnya adalah
hasil yang diperoleh dari suatu aktivitas. Sedangkan belajar pada dasarnya
adalah suatu proses yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu, yakni
perubahan tingkah laku. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prestasi
belajar Matematika (Hasil Belajar Matematika) adalah hasil yang diperoleh
berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai
hasil dari aktivitas belajar matematika.
3.
Pembelajaran
Kooperatif Tipe Student Team Acievemen Division
a.
Pengertian
Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran
kooperatif (Cooperative learning) merupakan strategi pembelajaran melalui
kelompok kecil siswa yang saling bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi
belajar untuk mencapai tujuan belajar. Bern dan Erickson mengemukakan bahwa
pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang mengorganisir
pembelajaran dengan menggunakan kelompok belajar kecil di mana siswa bekerja
bersama untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pemebelajaran kooperatif adalah
suatu strategi pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam
kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif
yang anggotanya terdiri dari 2 sampai 5 orang, dengan struktur
kelompoknya yang bersifat heterogen. Keberhasilan belajar dari kelompok
tergantung pada kemampuan dan aktivitas anggota kelompok, baik secara individual
maupun secara kelompok. Sehubungan dengan pengertian tersebut, Johnson, et al.,
1994 ; Hamid Hasan, 1996, menegaskan bahwa belajar kooperatif adalah
pemanfaatan kecil ( 2 – 5 orang ) dalam pembelajaran yang memungkinkan siswa bekerja
bersama untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam
kelompok. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran
kelompok yang memiliki aturan-aturan tertentu. Prinsip dasar pembelajaran
kooperatif adalah siswa membentuk kelompok kecil dan saling mengajar sesamanya
untuk mencapai tujuan bersama. Dalam pembelajaran kooperatif siswa pandai
mengajar siswa yang kurang pandai tanpa merasa dirugikan. Siswa kurang pandai
dapat belajar dalam suasana yang menyenangkan karena banyak teman yang membantu
dan memotivasinya. Siswa yang sebelumnya terbiasa bersikap pasif setelah
menggunakan pembelajaran kooperatif akan terpaksa berpartipasi secara aktif
agar bisa diterima oleh anggota kelompoknya.
Pembelajaran kooperatif adalah konsep yang
lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang
lebih kompeten oleh guru atau diarahkan oleh guru. Secara umum pembelajaran
kooperatif dianggap lebih diarahkan oleh guru, dimana guru menetapkan tugas dan
pertanyaan-pertanyaan serta menyediakan bahan-bahan dan informasi yang
dirancang untuk membantu peserta didik menyelesaikan masalah yang dimaksud.
Guru biasanya menetapkan bentuk ujian tertentu pada akhir tugas.
b.
Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Student
Team Acievmen Division
Metode ini dikembangkan
oleh Robert Slavin dan kawan–kawan dari universitas John Hopkins. Metode ini
digunakan para guru untuk mengajarkan informasi akademik baru kepada siswa
setiap minggu, baik melalui penilaian verbal maupun tertulis. Langkah –
langkahnya :
1.
Para siswa di dalam kelas dibagi menjadi
beberapa kelompok atau tim, masing – masing terdiri atas 4 atau 5 anggota. Tiap
kelompok memiliki anggota yang heterogen, baik jenis kelamin, ras, etnik,
maupun kemampuan (tinggi, sedang, rendah).
2.
Tiap anggota tim/kelompok menggunakan
lembar kerja akademik dan kemudian saling membantu untuk menguasai bahan ajar
melalui tanya jawab atau diskusi antar sesama anggota tim/ kelompok.
3.
Secara individual atau tim, tiap minggu
atau tiap dua minggu akan mengevaluasi untuk mengetahui penguasaan mereka
terhadap bahan akademik yang telah dipelajari.
4.
Tiap siswa dan tiap tim diberi skor atas
penguasaannya terhadap bahan ajar, dan kepada siswa secara individual atau tim
yang meraih prestasi tinggi atau memperoleh skor sempurna diberi penghargaan.
Kadang – kadang beberapa atau semua tim memperoleh penghargaan jika mampu
meraih suatu criteria atau srandar tertentu.
Tabel 2.1. Tahapan Pembelajaran kooperatif STAD
Tahapan
|
Tingkah Laku Guru
|
Tahap 1
present goals and set
Menyampaikan tujuan dan memper siapkan peserta didik
|
Menjelaskan tujuan pembelajaran dan
mempersiapkan peserta didik siap belajar.
|
Tahap 2
present information
Menyajikan informasi
|
Mempresentasikan informasi kepada paserta
didik secara verbal.
|
Tahap 3
organize students into learning teams
Mengorganisir peserta didik ke dalam tim – tim belajar
|
Memberikan penjelasan kepada peserta
didik tentang tata cara pembentukan tim belajar dan membantu kelompok
melakukan transisi yang efisien.
|
Tahap 4
assist team work and study
Membantu kerja tim dan belajar
|
Membantu tim- tim
belajar selama peserta didik mengerjakan tugasnya.
|
Tahap 5
test on the materials
Mengevaluasi
|
Menguji
pengetahuan peserta didik mengenai berbagai materi pembelajaran atau
kelompok- kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
|
Tahap 6
provide recognition
Memberikan
pengakuan atau penghargaan
|
Mempersiapkan cara untuk mengakui usaha dan
prestasi individu maupun kelompok.
|
4.
Pembelajaran
Berbasis Masalah
a.
Pengertian
Pembelajaran Berbasis Masalah
Menurut Nurhadi,
dkk, “Pengajaran berbasis masalah (Problem
Based Learning) adalah suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah
dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa
untuk belajar tentang cara berfikir kritis dan keterampilan pemecahan
masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari
materi pelajaran”.[11]
Pembelajaran
berbasis masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk
merangsang siswa untuk berfikir tingkat tinggi dalam situasi belajar yang
berorientasi pada masalah dunia nyata.
Lebih lanjut
Nurhadi dkk, mengemukakan “pembelajaran
berbasis masalah dikenal dengan nama lain seperti : Project Based Teaching (pembelajaran proyek), Experience-Based Education (pendidikan berdasarkan pengalaman) Utenthentic Learning (Pembelajaran
Autentik), dan Anchored Instruction
(pembelajaran berakar pada kehidupan nyata)”.[12]
Strategi
pembelajaran berbasis masalah ini menekankan akan pentingnya lingkungan alamiah
diciptakan supaya proses belajar mengajar di kelas lebih hidup dan lebih
bermakna karena strategi pembelajaran ini menyediakan kesempatan kepada siswa
untuk melakukan kegiatan-kegiatan belajar secara aktif melalui kegiatan
mengalami sendiri dan memecahkan masalah. Jika strategi pembelajaran ini bisa
diterapkan dengan baik, diharapkan siswa akan terlatih untuk berfikir kritis
dan dapat mengaitkan antara apa yang mereka peroleh di kelas dengan kehidupan
sehari-hari mereka.
Supaya siswa
dapat belajar lebih efektif guru harus mendapatkan informasi tentang konsep
pembelajaran ini serta penerapannya. Adapun tugas guru dalam pembelajaran ini
adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan mempasilitasi penyelidikan
dan dialog, para siswa didorong untuk mencari pengetahuan sendiri bukan hanya
dijejali dengan pengetahuan.
b.
Ciri
– Ciri Pembelajaran Berbasis Masalah
Ibrahim dan Nur merumuskan ciri-ciri pengajaran berbasis masalah yaitu:
1.
Pengajuan
pertanyaan atau masalah
2.
Berfokus pada
keterkaitan antar disiplin
3.
Penyelidikan
autentik
Adapun yang menjadi ciri-ciri dari pembelajaran berbasis masalah ini
adalah siswa menyadari akan pentingnya belajar siswa secara individu atau
kelompok untuk terciptanya pemahaman yang mendalam.
Bekerjasama dalam kelompok juga memberikan banyak peluang untuk dapat
berbagi pengalaman dan dialog untuk mengembangkan ketrampilan berdialog dan
bertukar pendapat.
c.
Tujuan
Pembelajaran Berbasis Masalah
Ibrahim dan Nur menegaskan bahwa pengajaran berbasis masalah
dikembangkan untuk :
1.
Membantu siswa
mengembangkan kemampuan berfikir dan
pemecahan masalah.
2.
Belajar tentang
berabagai peran orang dewasa melalui pelibatan meraka dalam pengalaman nyata
atau simulasi.
d.
Lingkungan
Belajar dan Sistem Pembelajaran Berbasis Masalah
Guru memiliki peran yang sangat
penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pembelajaran yang
dilaksanakannya. Sebagai learning manager, guru harus mampu mengelola kelas
sebagai lingkungan belajar yang baik yang dapat menantang dan merangsang siswa
untuk belajar, memberikan rasa aman dan kepuasan untuk mencapai tujuan.
“Lingkungan belajar dan sistem pengajaran
berbasis masalah dicirikan oleh sifatnya yang terbuka, ada proses demokrasi dan
peranan siswa yang aktif”.[15]
Dengan adanya sifat terbuka dan demokrasi dalam pembelajaran berbasis masalah
memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat secara aktif dalam
mengemukakan ide dan pendapatnya secara terbuka. Siswa tidak akan merasa kaku
ataupun tertekan baik dalam menanyakan suatu permasalahan ataupun dalam
menanggapi pertanyaan yang diajukan oleh gurunya atau temannya. Dengan demikian
kegiatan belajar mengajar akan lebih hidup dan menyenangkan.
Pengelolaan pembelajaran berbasis
masalah biasanya terdiri dari lima tahapan utama, yaitu :
Tahap 1 : Orientasi Siswa pada masalah
Pada tahap ini, guru
memperkenalkan siswa dengan situasi masalah yang berkaitan dengan materi
pelajaran. Dalam hal ini, guru harus memberikan informasi yang
sebanyak-banyaknya kepada siswa mengenai masalah yang akan dipecahkan atau
diteliti, menjelaskan tujuan yang akan dicapai dan mejelaskan logistik yang
dibutuhkan oleh siswa untuk melakukan penyelidikan atau penyelesaian masalah.
Guru juga harus memotivasi siswa supaya terlibat dalam memecahkan masalah.
Tahap 2 : Mengorganisasikan siswa untuk
belajar
Peran guru dalam
pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai fasilitator dan motivator. Guru
harus mengatur siswa bagaimana mereka harus menjalankan tugasnya (secara
individu atau kelompok), mengorganisasikan pembelajaran di sekitar pertanyaan
dan masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara individu
bermakna bagi siswa.
Tahap 3 : Membimbing penyelidikan
individual dan kelompok
Pembelajaran berbasis
masalah merupakan pendekatan pembelajaran yang memperkenankan siswa untuk
mempelajari konteks bermakna. Siswa mengembangkan keterampilan berfikir dan
pemecahan masalah yang penting dalam konteks kehidupan nyata. Agar tugas-tugas
sekolah dapat bermakna bagi siswa, maka guru harus membantu siswa untuk belajar
memecahkan masalah dengan memberikan tugas-tugas yang memiliki konteks
kehidupan nyata dan kaya dengan kandungan akademik serta keterampilan yang
terdapat dalam konteks dunia nyata. Untuk dapat memecahkan masalah yang
ditugaskan oleh guru, siswa harus melakukan penyelidikan terhadap masalah
tersebut baik secara individual maupun kelompok. Hal ini tidak bisa terlepas
dari bimbingan guru.
Tahap 4 : Mengembangkan dan menyajikan
hasil karya
Pembelajaran
berbasis masalah “Menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam
bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili
bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan”.[16]
Untuk dapat
menyajikan produk atau hasil karya, siswa memerlukan bimbingan guru dalam
merencanakan dan menyiapkan hasil karya tersebut.
Tahap 5 : Menganalisis dan mengevaluasi
proses pemecahan masalah
Salah satu hal
yang juga merupakan bagian penting dalam pengajaran berbasis masalah adalah
refleksi. Refleksi adalah “Cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau
berfikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu”[17]
Dengan demikian yang dimaksud refleksi pada
tahap ini adalah pengkajian ulang terhadap proses penyelidikan atau pemecahan
masalah. Dalam hal ini, guru harus membantu siswa bagaimana mereka harus
melakukan refleksi dan evaluasi terhadap penyelidikan yang telah mereka
lakukan. Untuk lebih jelasnya tentang kelima tahapan tersbut dapat di lihat
dalam tabel berikut :
Tabel 2.2.
Tahapan Pembelajaran Berbasis Masalah
Tahapan
|
Tingkah Laku Guru
|
Tahap 1
Orientasi siswa
kepada masalah
|
Guru
menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan,
memotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang
dipilihnya
|
Tahap 2
Mengorganisasikan
siswa untuk belajar
|
Guru membantu
siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan
dengan masalah tersebut
|
Tahap 3
Membimbing penyelidikan
individual dan kelompok
|
Guru mendorong
siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk
mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalahnya
|
Tahap 4
Mengembangkan
dan menyajikan hasil karya
|
Guru membantu
siswa merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai, seperti : laporan video,
model serta membantu mereka berbagi tugas dengan temannya
|
Tahap 5
Menganalisis dan
mengevaluasi proses pemecahan masalah
|
Guru membantu
siswa melukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan
proses-proses yang mereka gunakan
|
B.
Hasil Penelitian
yang Relevan
Berdasarkan hasil
penelitian berbentuk skripsi oleh
beberapa peneliti sebelumnya, yaitu:
1.
Penelitian yang dilakukan oleh Raodah
Nim: 15.1.04.1.103 dengan judul: “Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan
Sistem Penilaian Portofolio terhadap Ketuntasan Belajar PAI pada siswa Kelas
VII SMP Islam Nurul Hikmah Langko Lingsar Tahun Pelajaran 2008/2009”. Hasil
penelitiannya menyebutkan bahwa ada Pengaruh pembelajaran berbasis Masalah
dengan system Penilaian Portofolio terhadap Ketuntasan Belajar PAI pada siswa
Kelas VII SMP Islam Nurul Hikmah Langko Lingsar Tahun Pelajaran 2008/2009,
sehingga hipotesis yang diajukan dinyatakan diterima. Hal itu dibuktikan dengan
hasil analisis data yang dilakukan menunjukkan nilai atau angka r hitung lebih
besar dari pada r table.
2.
Penelitian yang dilakukan oleh Rauhun
Nim: 15.1.07.4.080 dengan judul: “Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe STAD (Student Teams Acjievement Division) terhadap Hasil
Belajar Matematika Pada materi Pokok Sistem Persamaan Linear Dua Variabel Siswa
Kelas X SMKN 6 Mataram Tahun Ajaran 2011/2012”. Adapun hasil penelitian
menunjukkan bahwa Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dapat
mempengaruhi hasil belajar matematika Pada materi Pokok Sistem Persamaan Linear
Dua Variabel Siswa Kelas X SMKN 6 Mataram Tahun Ajaran 2011/2012, Pernyataan
ini didukung oleh t hitung yang
diperoleh lebih besar dari ttabel yaitu 27,76 > 1,67.
3.
Penelitian yang dilakukan oleh Iroyani
Nim: 15.1.04.6.030 dengan judul: “Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe STAD Terhadap Motivasi Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Sosiologi di
Kelas XI MA Thohir Yasin Lendang Nangka Kecamatan Masbagik Lombok Timur”.
Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa Penerapan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe STAD Berpengaruh Terhadap Motivasi Belajar Siswa Pada Mata
Pelajaran Sosiologi di Kelas XI MA Thohir Yasin Lendang Nangka Kecamatan
Masbagik Lombok Timur Tahun pelajaran 2008/2009. Hal ini dapat diketahui dari
hasil analisis data yang diperoleh persamaan regresi Y= 9,596 + 0,542 X, hal
ini dapat diprediksikan bahwa variable Y rata-rata akan berubah sebesar 0,542
untuk setiap unit perubahan yang terjadi pada variable X terhadap Y adalah 54%.
Tabel 2.3. Analisis Telaah Pustaka
No.
|
Nama
|
Metode PBL dan Kooperatif tipe STAD
|
Jenis penelitian
|
Materi Penelitian
|
1.
|
Raodah
|
PBL
saja
|
Penelitian
kuantitatif deskriftif
|
Mata
Pelajaran PAI
|
2.
|
Rauhun
|
Kooperatif
Tipe STAD saja
|
Eksperimen
|
SPLDV
|
3.
|
Iroyani
|
Kooperatif
Tipe STAD saja
|
Penelitian
kuantitatif deskriftif
|
Mata
Pelajaran Soiologi
|
4.
|
Peneliti
|
Ya, Metode PBL dan Koofeeratif tipe STAD
|
Eksperimen
|
Aljabar
|
Berdasarkan
pemaparan tabel di atas terlihat beberapa perbedaan dan persamaan antara
penelitian terdahulu dengan penelitian yang
akan dilakukan, pada penelitian yang dilakukan oleh Raodah menggunakan
metode pembelajaran berbasis masalah saja, sama seperti yang penelitian yang
akan dilakukan, akan tetapi peneliti menggunakan dua metode yakni akan
menggunkan metode kooperatif tipe STAD juga, dengan materi akan dibahas juga berbeda.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Rauhun ada kesamaan dengan penelitian yang
akan dilakukan, kesamaannya terlihat pada penggunaan metode kooperatif Tipe STAD dan metode penelitiannya sama
menggunakan eksperimen, tapi penelitian ini
menggunakan dua metode sehingga berbeda. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Iroyani menggunakan metode Kooperatif tipe STAD. Jenis penelitianya yaitu
Penelitian Kuantitatif deskriftif untuk mata pelajaran Sosiologi.
Berdasarkan
beberapa telaah pustaka yang telah peneliti kaji, peneliti dapat simpulkan
bahwa penelitian yang akan peneliti teliti belum diteliti oleh siapapun untuk
itulah peneliti mencoba mengambil judul penelitian “Perbandingan Pembelajaran
Berbasis Masalah dan Kooperatif Tipe STAD dalam Meningkatkan Hasil Belajar
Matematika Materi SPLDV Pada Siswa Kelas VIII Semester Ganjil SMP Negeri 2
Lingsar Tahun Pelajaran 2013/2014”.
C.
Kerangka
Berpikir
Untuk sampai kepada pembahasan penelitian ilmiah, perlu diketahui
lebih dulu kerangka berpikir ilmiah. Hal ini merupakan landasan yang memberikan
dasar-dasar pemikiran yang lebih kuat sebagai tempat berdirinya hasil-hasil
penelitian tersebut.[18]
Upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada pelajaran matematika di sekolah
adalah dengan memilih model pembelajaran yang tepat dalam proses pembelajaran.
Salah satu model pembelajaran tersebut adalah pembelajaran kooperatif atau
pembelajaran inovatif. Dalam pembelajaran kooperatif mencangkup
kelompok-kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai sebuah tim untuk
menyelesaikan suatu masalah, atau menyelesaikan tugas untuk mencapai tujuan
bersama lainnya. Dalam pembelajaraan kooperatif , siswa dapat saling berinteraksi,
saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah, memahami konsep-konsep
yang sulit, serta menumbuhkan kemampuan bekerjasama. Pembelajaran kooperatif
memiliki dampak positif terhadap siswa yang rendah hasil belajarnya.
Dalam mengajarkan matematika kita harus berusaha agar anak-anak itu
lebih banyak mengerti dan mengikuti pelajaran matematika dengan gembira,
sehingga minatnya dalam matematika akan lebih besar. Anak-anak akan lebih
minatnya dalam matematika bila pelajaran itu disajikan dengan baik dan menarik.
Dengan menggunakan model pembelajaran yang inovatif maka anak-anak akan lebih
tertarik dalam pelajaran matematika. Guru dapat memilih model pembelajaran yang
sesui dengan materi yang akan disampaikan. Dalam hal ini ada dua model pembelajaran
Inovatif tipe PBL dan kooperatif tipe STAD. Kedua model pembelajaran ini
mempunyai keistimewaan yaitu siswa selain bisa mengembangkan kemampuan kelompok
juga mengembangkan kemampuan individu.
Pembelajaran PBL dan STAD merupakan model pembelajaran yang menuntut
keaktifan siswa. Siswa dituntut untuk berpikir kritis dalam pembelajaran. Dalam
proses pembelajaran siswa dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dikaitkan
dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun kedua metode bertujuan untuk memecahkan
masalah namun dalam proses pembelajarannya berbeda.
Adapun perbedaan dalam pembelajaran PBL dan STAD yaitu pada langkah
pembelajarannya, dengan adanya perbedaan itu maka peneliti ingin mengkaji
apakah dengan menggunakan pembelajaran yang berbeda tersebut akan memberikan
hasil belajar yang berbeda atau tidak.
Gambar
2.1.Kerangka Pikir
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah pernyataan tentatif yang
merupakan dugaan atau terkaan tentang apa saja yang kita amati dalam usaha
untuk memahaminya.[19] Adapun hipotesis yang
peneliti ajukan dan selanjutnya akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah
terdapat perbedaan antara pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran
kooperatif metode STAD dalam meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII pada
mata pelajaran Matematika materi aljabar di SMP Negeri 2 Lingsar.
[3]
Syahrir, Metodologi Pembelajaran Matematika,
(Yogyakarta: Naufan Pustaka, 2010), h.4
[9]
Syaiful bahri Djamarah, Prestasi belajar dan kompetensi guru,
(Surabaya: Usaha Nasional ,2012). h.19
[11]
Nurhadi, dkk.,Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya
Dalam KBK, (Malang: Universitas Negeri Malang , 2004), h.55.
[16]Nurhadi, dkk,Pembelajaran Kontekstual
dan Penerapannya Dalam KBK, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2004),
h.56.
0 komentar:
Posting Komentar